Terbit di Buletin Ansoruna PAC GP Ansor Genuk Semarang
Kita sangat bergembira dan berbahagia, sebab mampu menjalankan ibadah puasa ramadhan selama satu bulan penuh. Maka akan menikmati hari kemenangan berupa hari raya idul fitri. Hari yang selalu ditunggu, didalamnya mengisyaratkan tradisi yang hanya dimiliki negera kita seperti tradisi mudik dan sungkem.
Bahkan kita memiliki keuikan sendiri yakni penyebutan idul fitri dengan mengatakan “lebaran”. Tentu kata tersebut memiliki sarat makna, yakni lebaran berasal dari kata “lebar” yang memiliki arti “selesai”. Berarti selesainya ibadah bulan suci ramadhan. Dinamakan lebaran karena manusia pada hari itu laksana bayi yang baru keluar dari kandungan yang tidak memiliki dosa.
Tradisi lebaran ditandai dengan perlambang atau simbol yakni “ketupat”. Merupakan sebuah tanda yang memiliki arti dan makna. Maka setiap organisasi maupun negara memiliki perlambang masing-masing. Misalnya Negara kita memiliki perlambang berupa bendera merah putih yang berarti berani dan suci.
Begitu juga engan lambing ketupat tersimpan makna yang dalam dan beragam arti, pertama ketupat berasal dari kata “telu (3) lan papat (4)”. Tiga mensimbolkan bahwa bulan ramadhan adalah rukun Islam yang ketiga diwajibkan untuk berpuasa. Sedangkan papat berarti rukun Islam ke empat yakni zakat. Karena setelah di waijbakannya berpuasa, orang yang beriman di wajibkan untuk mengeluarkan zakat fitrah sebelum shalat idul fitri. Lebih dalamnya bermakna, ketika manusia sudah mampu berpuasa, maka harta benda sudah tidak memiliki arti karena ia mampu menahan keinginan dan cukup hanya sebatas kebutuhan.
Kedua, ketupat berasal dari bahasa arab “tauifat” yang memiliki arti jamaah, kelompok atau grup. Seluruh umat Islam di wajibkan untuk melakukan ibadah puasa, hal ini menunjukkan sebuah keseragaman dan kebersamaan. Tali persatuan dan kesatuan diutamakan, ketika saudara kita sakit maka kitapun merasakan sakit.
Ketiga, ketupat berarti “ngaku lepat” atau mengakui segala kesalahan baik yang disengaja ataupun tidak. Maka tidak heran di masyarakat ada tradisi “ujung-ujung” yang berarti berkunjung dari ujung sampai ujung. Mengapa ujung, karena ujung berarti puncak dan awalan. Ketika kita dilahirkan dalam keadaan suci, kembali ke pangkuan Tuhan harus dalam keadaan suci. Maka maaf menjadi sebuah senjata untuk memperbaiki kesucian.
Keempat, ketupat bermakna “mangku perkoro papat” atau kita memiliki empat beban perkara waktu melaksanakan puasa. Yakni menjaga hawa nafsu, shalat malam, tadarus atau membaca kitab suci dan zakat atau beramal. Mangku ataupun beban, bukan berarti sebuah perkara yang memberatkan akan tetapi menjadi sebuah ujian untuk menjadi yang terbaik. Karena selama satu bulan didik untuk menjadi manusia yang akan kembali fitrah, sahur di pertiga malam menandakan kita supaya gemar shalat malam. Intinya dalam perkara ini diajarkan nilai-nilai keistiqamahan.
Secara geometri pembuatan ketupatan sangatlah rumit, hal ini menandakan bahwa lika-liku kehidupan manusia amatlah rumit dan terkadang dilumuri banyak dosa. Namun jika membelah ketupat tersebut, sungguh kita akan takjub karena didalamnya ada sebuah warna putih, bersih dan suci serta enak dimakan. Menandakan bahwa pada ramadhan ini kita di didik menjadi manusia yang mulia. Allah berfiraman dalam surat Ali-Imran ayat 110:
“kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”.
Kesucian hamba
Idul fitri yang berarti kembali ke fitrah (awal kejadian), dalam arti mulai hari itu dan seterusnya diharapkan kita selalu menjaga kesucian tersebut. Dimana pada awal kejadian manusia, semua manusia dalam keadaan mengakui bahwa Allah adalah tuhan yang esa. Dalam istilahnya dikenal dengan “perjanjian primordial”, sebuah perjanjian antara manusia dengan Tuhannya yang berisi pengakuan “ke-Tuhan-nan”. Allah berfirman dalam surat Al-Araf ayat 172):
“dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"
Namun seiring perjalanan waktu banyak diantara manusia dalam menapaki hidupnya melupakan Allah. Shalat hanya sebagai rutinitas tanpa sarat makna, bahkan meninggalkan shalat. Padahal shalat merupakan penghubung hamba dengan Tuhannya. Mulailah manusia berlumuran dengan dosa, untuk memahami makna “fitrah”, maka manusia harus mampu membangun kembali pengabdian sebagai seorang hamba.
Fitrah kedamaian
Bangsa ini telah dilanda masalah kemanusiaan, lahir perilaku-perilaku menyimpang seperti korupsi, perang antar suku, pembunuhan, perampokan dll. Sungguh hal tersebut sangat memilukan, maka moment idul fitri merupakan ajang menggali kembali hakekat manusia atau hakekat diri kita sendiri.
Hakekat manusia itu sendiri adalah “fitrah” atau kesucian, melalui fitrah tersebut akan menyelamatkan manusia dari berbagai masalah kemanusiaan. Melalui usaha membimbing pribadi yang baik dengan keseriusan, ketulusan dan keikhlasan, akan mewujudkan kedamaian, keadilan bagi semua tanpa memandang dari suku, agama, ras dan latar belakang sosio-politik dan mampu mewujudkan tatanan masyarakat yang di ridhoi Allah.
Mari saatnya kita kembali kepada diri kita, mengoreksi setiap kesalahan dan selalu memperbaiki diri menjadi pribadi yang mulia. Sebab kita adalah manusia yang merupakan satu komunitas “ummatan wahidah”. Allah berfirman adalam surat Yunus ayat 19:
“manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu”.
Namun kemudian manusia saling berselisih dan berbeda pendapat. Dari perbedaan dan perselisihan tersebut munculah konflik dan perang. Kejadian ini tidak hanya antar suku ataupun antar negara, bahkan sesama suku, agama dan bangsa sendiri. Hal inipun dialami umat Islam, dimasa Nabi tidak ada istilah sunni, syiah dan khawarij. Istilah itu muncul setelah perang siffin pada tahun 657 H. Berlanjut hingga sekarang, perpecahan tersebut. Padahal umat Islam adalah bersaudara dan jika terjadi perpecahan sebagai saudara berkewajiban mendamaikan. Allah berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 10:
“orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”.
Maka momentum idul fitri ini, kita saling menjalin persaudaran dengan bersilatuhrahim. Melalui hubungan tali silatuhrahim, marilah kita menjadi saudara kembali demi terwujudkan kedamaian yang di ridhoi supaya kita mendapatkan rahmat dari-Nya.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !