Di era serba mudah ini dengan di gelarnya teknologi yang memudahkan manusia untuk melakukan sesuatu, hal yang di tandai dengan berkembangnya arus pemikiran ilmu pengetahuan. Menghasilakan produk teknologi dan komunikasi, membuat sesuatu yang jauh menjadi dekat.
Beranggapan era sekarang adalah era modern, dimana teknologi dan pengetahuan menjadi fenomena dan pandangan hidup. Bahkan dalam diskursus sosiologi menyatakan bahwa makin maju suatu masyarakat, kemungkinan terjadi penurunan atas kepercayaan terhadap agama. Sebab agama akan menghalau eksistensi pengetahuan, semisal penemuan produk pengetahuan seperti cloning.
Fenomena ini memunculkan gejala sekularisasi, disertai juga pandangan fragmentasi ideology dan maraknya tren pluralism dan relativisme, menurut ungkapan Steve Brucr Sosiolog agama dari Universitas Aberdeen Scotland, bahwasanya tidak ada kebenaran tunggal “there is no longer one single truth, one single way to God, but a whole variety of equally good ways”.
Pada dataran praktisnya muncullah sikap-sikap individualism. Setiap manusia ingin meraih kesuksesan pribadi, mencapai puncak kebahagiaan yang di sebut kemapanan dalam hidup. Misalnya dalam dunia pendidikan, sekolah menjadi trend kewajiban yang harus di ikuti. Sehingga banyak orang berpendidikan, bahkan mereka memiliki ilmu pengetahuan yang luas untuk keperluan hidupnya.
Namun oleh sebab dirinya berubah sikap yang seharusnya mengetahui peran hidupnya, terhijab oleh pandangan individual. Karena dengan bekal ijasah dan pengetahuan, pertama kali yang di pikirkan yakni “mau bekerja di mana diriku”. Seorang imam dari kalangan Syiah yakni Imam Hasan AL-Mujtaba berkata, “Aku merasa heran dengan sekelompok orang yang hanya sibuk memikirkan makanan apa yang harus dia makan, namun sama sekali tidak berfikir tentang ilmu yang harus di miliki.”
Sebagai manusia normal tentu, jika disuruh memilih hidup miskin atau hidup kaya. Tentu mereka akan memilih menjadi orang kaya. Meskipun hal tersebut merupakan kewajaran. Rasulullah merupakan teladan sepanjang zaman, ketika di tawari Tuhan untuk memilih. Rasul menjawab, “ingin hidup miskin”. Maka ketika ia wafat, tidak meninggalkan warisan berupa harta kepada anak turunnya. Padahal kita tahu bahwa Muhammad dan Khadijah adalah pengusaha sukses.
Manusia akan mengalami kesedihan hidup jika ia mengalami kemiskinan atau kekurangan. Atas kekurangan tersebut ia akan berusaha untuk menjadi menjadi manusia yang merasa tercukupi. Lain lagi jika jika ia tetap apatis menghadapai kemiskinannya, dampak modern akan muncul seperti sikap stress, depresi atau kegalauan dalam hidup.
Efek kemiskinan dan kekurangan merupakan gejala penyakit yang ganas, sehingga di kawatirkan akan memunculkan karakter manusia yang buas. Kebuasan tersebut ditandai saling menikam satu sama lain, penyakit-penyakit sosial bermunculan seperti perampokan, pembunuhan, pencurian atau bahkan korupsi semua berdalih, “hal ini karena kebutuhan ekonomi”.
Inilah sedikit musibah yang dialami manusia modern, di dalam al-Qur’an sendiri telah menjelaskan bentuk-bentuk musibah yang dialami manusia sieperti; ketakutan, kemiskinan, tidak memiliki keturunan, ditinggal mati, tidak hidup kaya, hati yang terguncang, di hina, menghadapi bencana maupun menghadapi kematian atau rasa sakit.
“dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Ternyata kuncinya hanya kata, “sabar”. Maka ia harus berusaha melepaskan belenggu penyakit tersebut dengan keyakinan. Sebab kita masih memiliki kehendak dan keinginan, lain lagi dengan orang yang sudah tidak memiliki kehendak dan keinginan. Hal ini seperti ajaran agama Hindu sebagai mana dalam kitab Bhagavad Gita, “Apabila seseorang telah melepaskan segala macam keinginan dan puas dengan dirinya sendiri, maka dia adalah orang yang bijak”.
Jika didalam Islam, seseorang yang sudah melepaskan keinginan dan kehendak merupakan puncak makrifat. Di sinilah pentingnya, untuk bisa memantapkan keyakianan atas belenggu penyakit yang begitu ganasnya. Keyakinan tersebut salah satu akarnya mengetahui peran eksistensi manusia sendiri.
Bahwa hidup bahagia dan tidak bahagia, bukanlah sebuah tujuan utama. Jika manusia mengetahuinya maka ia akan diberikan jalan. Jalan tersebut berupa kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan Rasulullah telah mengajarkan kepada manusia doa yang paling baik bagi kaum muslin, yakni permohonan kebaikan dunia dan akhirat.
“dan Kami akan memberi kamu taufik ke jalan yang mudah.” (QS. Al-A’laa: 8)
“dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka". (QS. Al-Baqarah: 210).
Inilah rangkaian hidup kita sesungguhnya, semua terikat dengan suatu hal yakni, “Segala Puji Bagi Allah”. Setiap manusia hanya bisa berusaha dan berdoa sebagaimana eksistensinya, untuk mencapai suatu kebaikan baik di dunia maupun di akhirat.
Semarang, 06/09/12
Beranggapan era sekarang adalah era modern, dimana teknologi dan pengetahuan menjadi fenomena dan pandangan hidup. Bahkan dalam diskursus sosiologi menyatakan bahwa makin maju suatu masyarakat, kemungkinan terjadi penurunan atas kepercayaan terhadap agama. Sebab agama akan menghalau eksistensi pengetahuan, semisal penemuan produk pengetahuan seperti cloning.
Fenomena ini memunculkan gejala sekularisasi, disertai juga pandangan fragmentasi ideology dan maraknya tren pluralism dan relativisme, menurut ungkapan Steve Brucr Sosiolog agama dari Universitas Aberdeen Scotland, bahwasanya tidak ada kebenaran tunggal “there is no longer one single truth, one single way to God, but a whole variety of equally good ways”.
Pada dataran praktisnya muncullah sikap-sikap individualism. Setiap manusia ingin meraih kesuksesan pribadi, mencapai puncak kebahagiaan yang di sebut kemapanan dalam hidup. Misalnya dalam dunia pendidikan, sekolah menjadi trend kewajiban yang harus di ikuti. Sehingga banyak orang berpendidikan, bahkan mereka memiliki ilmu pengetahuan yang luas untuk keperluan hidupnya.
Namun oleh sebab dirinya berubah sikap yang seharusnya mengetahui peran hidupnya, terhijab oleh pandangan individual. Karena dengan bekal ijasah dan pengetahuan, pertama kali yang di pikirkan yakni “mau bekerja di mana diriku”. Seorang imam dari kalangan Syiah yakni Imam Hasan AL-Mujtaba berkata, “Aku merasa heran dengan sekelompok orang yang hanya sibuk memikirkan makanan apa yang harus dia makan, namun sama sekali tidak berfikir tentang ilmu yang harus di miliki.”
Sebagai manusia normal tentu, jika disuruh memilih hidup miskin atau hidup kaya. Tentu mereka akan memilih menjadi orang kaya. Meskipun hal tersebut merupakan kewajaran. Rasulullah merupakan teladan sepanjang zaman, ketika di tawari Tuhan untuk memilih. Rasul menjawab, “ingin hidup miskin”. Maka ketika ia wafat, tidak meninggalkan warisan berupa harta kepada anak turunnya. Padahal kita tahu bahwa Muhammad dan Khadijah adalah pengusaha sukses.
Manusia akan mengalami kesedihan hidup jika ia mengalami kemiskinan atau kekurangan. Atas kekurangan tersebut ia akan berusaha untuk menjadi menjadi manusia yang merasa tercukupi. Lain lagi jika jika ia tetap apatis menghadapai kemiskinannya, dampak modern akan muncul seperti sikap stress, depresi atau kegalauan dalam hidup.
Efek kemiskinan dan kekurangan merupakan gejala penyakit yang ganas, sehingga di kawatirkan akan memunculkan karakter manusia yang buas. Kebuasan tersebut ditandai saling menikam satu sama lain, penyakit-penyakit sosial bermunculan seperti perampokan, pembunuhan, pencurian atau bahkan korupsi semua berdalih, “hal ini karena kebutuhan ekonomi”.
Inilah sedikit musibah yang dialami manusia modern, di dalam al-Qur’an sendiri telah menjelaskan bentuk-bentuk musibah yang dialami manusia sieperti; ketakutan, kemiskinan, tidak memiliki keturunan, ditinggal mati, tidak hidup kaya, hati yang terguncang, di hina, menghadapi bencana maupun menghadapi kematian atau rasa sakit.
“dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Ternyata kuncinya hanya kata, “sabar”. Maka ia harus berusaha melepaskan belenggu penyakit tersebut dengan keyakinan. Sebab kita masih memiliki kehendak dan keinginan, lain lagi dengan orang yang sudah tidak memiliki kehendak dan keinginan. Hal ini seperti ajaran agama Hindu sebagai mana dalam kitab Bhagavad Gita, “Apabila seseorang telah melepaskan segala macam keinginan dan puas dengan dirinya sendiri, maka dia adalah orang yang bijak”.
Jika didalam Islam, seseorang yang sudah melepaskan keinginan dan kehendak merupakan puncak makrifat. Di sinilah pentingnya, untuk bisa memantapkan keyakianan atas belenggu penyakit yang begitu ganasnya. Keyakinan tersebut salah satu akarnya mengetahui peran eksistensi manusia sendiri.
Bahwa hidup bahagia dan tidak bahagia, bukanlah sebuah tujuan utama. Jika manusia mengetahuinya maka ia akan diberikan jalan. Jalan tersebut berupa kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan Rasulullah telah mengajarkan kepada manusia doa yang paling baik bagi kaum muslin, yakni permohonan kebaikan dunia dan akhirat.
“dan Kami akan memberi kamu taufik ke jalan yang mudah.” (QS. Al-A’laa: 8)
“dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka". (QS. Al-Baqarah: 210).
Inilah rangkaian hidup kita sesungguhnya, semua terikat dengan suatu hal yakni, “Segala Puji Bagi Allah”. Setiap manusia hanya bisa berusaha dan berdoa sebagaimana eksistensinya, untuk mencapai suatu kebaikan baik di dunia maupun di akhirat.
Semarang, 06/09/12
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !